Sabtu, 01 Juli 2017

Makalah agama islam

Hasil gambar untuk gambar agama
I.  PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Pada era modernisasi ini, kehidupan modern yang bisa dikatakan serba positivistik dan serba terukur, dianggap telah gagal mengatasi problem-problem kehidupan dengan ukuran rasionalitas dan pendewasaan akal pikirannya. Bahkan acapkali menimbulkan ragam, problem baru yang mengusik hati nurani umat manusia, suatu contoh misal dekadensi moral dan aksi radikal.
Pengaruh mordenisasi bak wabah yang mulai cepat merabah ke berbagai daerah diluar peradaban barat, hingga sampai wilayah-wilayah muslim di daerah timur dengan mengusung beberapa konsep diantaranya seputar masalah HAM, demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme, liberalisme serta sekularisme.
Konsep-konsep tersebut mendapat respon dengan berbagai sikap oleh masyarakat muslim yang tentu saja konsekuensinya juga menawarkan beragam konflik ditubuh Islam itu sendiri dari beberapa kalangan muslim di berbagai tempat. 
        
1.2.   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian liberalisme dan bagaimana perspektif Islam mengenai Liberalisme?
2.      Apa pengertian gender dan bagaimana gender dalam perspektif Islam ?
3.      Apa pengertian plularisme dan bagaimana pluralisme dalam Islam?
4.      Apa pengertian terorisme ?
5.      Apa pengertian isis ?


















II.      PEMBAHASAN
                                                                                 

2.1.   Liberalisme
Menurut bahasa, kata liberal berasal dari bahasa Inggris, liberal, yang berarti penganut liberalisme, dan berarti pula bebas, liberal, tidak picik. Dengan demikian, Islam liberal berarti Islam yang serba bebas, luas, dan tidak picik dalam memahami Islam. Kata liberal atau bebas yang berada di belakang kata Islam tersebut adalah bebas dari belenggu taklid (mengikuti pendapat orang tanpa sikap kritis), bebas untuk kembali dan mengakses Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung.
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia mempunyai kebebasan atau kalau kita lihat dari perspektif filosofi, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berfikir dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Prinsip-prinsip liberalisme itu sendiri yaitu kebebasan dan tanggungjawab. Salah satu agenda liberalisme adalah mengandalkan rasio dan kesadaran sosial para individu untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Liberalisme dalam Islam adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiaran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan perlu cara pandang baru dalam melihat dan memahami agama. Dalam tradisi filsafat Islam ada kebebasan berpikir yang berusaha memberikan alternatif bagi pemahaman ortodoks.
Oleh sebab itu wajar bila sekarang banyak para sarjana muslim yang mengatakan akar-akar liberalisme dalam Islam bisa ditelusuri pada dua disiplin keilmuan Islam, yaitu filsafat dan tasawuf, filsafat memberi landasan intelektual dan rasional, sementara tasawuf memberi landasan spiritual.
Islam liberal adalah Islam yang memilih akses penafsiran Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan metode dan pendekatan dalam penafsiran, melakukan reinterpretasi terhadap penafsiran Islam masa lalu yang tidak sesuai, ingin keluar dari belenggu taklid dan kembali melakukan ijtihad dalam rangka melahirkan gagasan dan pemikiran yang sesuai dengan zaman, serta ingin keluar dari ikatan tradisi yang tidak sesuai dengan spirit Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai sumber Islam yang membawa kemajuan.
Islam liberal sendiri keberadaannya di Indonesia di pelopori oleh Nurcholis Madjid, seorang tokoh yang sebelumnya sudah meluncurkan gagasan sekularisasi dan ide-ide teologi inklusif-pluralis. Lewat Islam liberal inilah Nurcholis Madjid mengembangkan gagasannya lebih intensif yang lebih dikenal dengan Jaringan Islam liberal (JIL). Mulai aktif pada Maret 2001, lewat diskusi maya (milis), koran jaringannya dan radio jaringannya, JIL meluncurkan gagasan-gagasannya di Indonesia.
Di kalangan masyarakat pada umumnya, Islam liberal di nilai sebagai Islam yang tidak baik, karena Islam liberal dihubungkan dengan sikap yang bebas dalam memahami Islam, bahkan bebas untuk tidak tunduk pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak mengikuti ketentuan syariat (fikih), dan berbagai tindakan bebas lainnya.
Ali Abdul Raziq (1866-1966) tampaknya adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam liberal. Karya dari Ali Abdul Raziq, Islam wa ushul al-hukum Islam dan Dasar-Dasar pemerintahan. Para ulama memutuskan untuk mencabut Ijazah Raziq dan mengeluarkannya dari kelompok ulama Al-Azhar. Tujuh butir kesalahan  fatal yang dibuat Raziq yaitu:           
1.    Menjadikan syariat Islam sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan  atau pelaksanaan duniawi.
2.    Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk mensyiarkan agama ke seluruh dunia.
3.   Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan.
4.   Berpendapat bahwa tanggung jawab Muhammad hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa dan pemerintah.
5.    Menganggap sepi ijma’ para sahabat Rasulullah yang menganggap umat mesti menunjukkan seseorang untuk mengolah urusan keagamaan dan keduniawian serta mengakui adanya kewajiban mengangkat seorang imam.
6.    Mengingkari bahwa kehakiman merupakan fungsi syariat.
7.     Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar Assidiq adalah pemerintahan yang sekuler.
Tapi ulama model Raziq inilah yang digandrumi kaum Islam liberal (para pemikir barat), pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah Kibaril Ulama ( dewan ulama terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama. Bila dicermati, intinya Ali Abd Raziq menolak Daulah Islamiah atau khalifah Islamiah bagi kaum muslim.

2.2.   Pluralisme
1)      Pengertian Pluralisme
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke 18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.
Setidaknya terdapat dua faktor utama penyebab munculnya gagasan pluralisme agama. Pertama, yaitu faktor internal berupa realitas perbedaan keyakinan antar agama yang sifatnya mendasar. Perbedaan tersebut terutama nampak pada bidang-bidang aqidah/keimanan/ideologis, bidang sejarah yang mempengaruhi secara langsung unsur-unsur keyakinan agama dan juga masalah konsep superioritas agama.
Kedua, yaitu faktor eksternal yang bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, faktor yang bersifat sosio-politis, yang erat berkaitan dengan wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, nasionalisme, dan HAM yang telah melahirkan sistem "Negara-Bangsa" dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan globalisasi. Kedua, faktor ilmiah akademis yang terejawantahkan dalam kerangka maraknya kajian keagamaan kontemporer, dimana sebagian pakar keagamaaan mencoba memformulasikan teori pluralismenya berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah mereka capai.
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "Al-ta'addudiyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religous pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jamak" atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertamapengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga, pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Adapun secara terminologis, pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam artian yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesisifik atau ajaran masing-masing agama.
Namun dari segi konteks dimana "pluralisme agama" sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula pada (dictionary definition). Jhon Hick misalnya, menegaskan bahwa:
.....pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conseptions of, and corespondingly different responses to, the real or ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to reality centredness is manifestly taking place--and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent."
(....pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut--dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama)
                        Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan "manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu". Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
                        Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama diatas adalah berangkat dari pendekatan substansif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan "reduksi" pengertian agama yang sangat dahsyat. Dan yang sungguh mengejutkan, ternyata "pemahaman reduksionistik" inilah justru yang semakin populer dan bahkan diterima dikalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang jelas tentunya berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum. Yaitu suatu fenomena pemikiran baru yang unik tentang "persamaan agama" (religious equality). Sesungguhnya pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan "pangkal permasalahan" sosio-teologis modern yang sangat akut, yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komperehensif, tak reduksionistik.

2)      Pluralisme Islam 
Istilah pluralisme tidaklah dikenal secara populer dan tidak banyak dipakai dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan Internasional barat yang baru, yang memasuki sebuah fase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai "Marhalat al-Ijtiyah" (fase pembinaan). Yakni sebuah perkembangan yang prinsipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya barat guna menjajakan ideologi modern-nya yang mereka anggap universal. Seperti Demokrasi, pluralisme, HAM, serta pasar bebas, yang kemudian mengekspornya untuk luar dalam rangka mencapai berbagai kepentingannya yang beragam. Suatu kebijakan yang telah dikemas atas dasar "superioritas" ras dan kultur barat, serta peremehan atau penghinaan terhadap segala sesuatu yang bukan barat. Islam khususnya, dengan berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis, sektarian dan sebagainya. Maka sebagai respons terhadap perkembangan politis baru ini, masalah pluralisme mulai mencuat dan concern kalangan cerdik-cendekia Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling laku dipasar pemikiran Arab Islam kontemporer.
Menurut hemat penulis, isu-isu pluralitas keagamaan dalam pandangan para ulama Islam lebih mengupas masalah yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu dan kelompok-kelompok yang hidup didalam sebuah tatanan masyarakat yang satu, baik yang menyangkut hak ataupun kewajiban, untuk menjamin ketentraman dan perdamain umum. Jadi, permasalahannnya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis dan historis, daripada masalah keimanan atau teologis. Dimana waktu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya pada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai dengan yang mereka yakini, .
Di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya di tahun 2005, yang menyebut bahwa paham pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan Islam. Dengan lebih menitikberatkan pada soal definisi pluralisme agama itu sendiri, karena seperti kita ketahui bersama bahwa istilah ini telah mengalami perubahan definisi seperti yang sudah dijelaskan di bagian atas.
Jika istilah pluralisme agama tidak terjadi pergeseran makna, maka tidaklah perlu umat Islam dan juga umat agama lain repot-repot untuk menjawabnya. Selain MUI, Vatikan sudah terlebih dahulu bersikap tegas terhadap paham ini, dengan keluarnya Dekrit Dominus Jesus (2000). Di kalangan Protestan pun muncul reaksi keras terhadap paham ini. Dalam sebuah buku Pendidikan Agama Kristen untuk mahasiswa yang berjudul Beriman dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa dijelaskan:   
"Pluralisme bukan sekadar menghargai pluralitas agama tetapi sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan agamanya. Ini adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta mengakui adanya jalan kesempatan di dalamya. Di satu pihak, jika tidak berhati-hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan polarisasi iman. Artinya keimananya atas agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak lain."[7]
Dalam Islam, Pluralitas merupakan "hukum ilahi" yang abadi di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama mahluk Allah. Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata karena memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT, dalam setiap ciptaan-Nya. Dan pluralitas yang menyangkut agama, yaitu topik yang sedang kita bicarakan, dalam konteks Islam yang tepat adalah berarti pengakuan akan eksisitensi agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh kararkteristik dan kekhususannya, dan menerima ke-"lain-"an yang lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan.  
Namun setelah itu semua, disini perlu ditambahkan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama yang lain, dalam pandangan Islam, tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Melainkan lebih tepatnya, menerima kehendak Allah SWT, dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam. Karena Allah SWT yang Maha Bijaksana telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang (balanced); ada baik dan buruk, haq dan batil, malaikat dan setan, siang dan malam, cahaya dan gelap, laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya.
                    Apabila kita berhasil menempatkan problem pluralitas agama dalam konteks penciptaan ilahi, dan dalam konteks kehendak ilahi ini, maka kita pasti akan mampu keluar dari problem ini dengan pemahaman yang benar tentang problem ini sendiri dan rahasia-rahasia yang yang berada di sebaliknya, dan pada saat yang sama kita juga akan mampu keluar dengan solusi yang memuaskan dan tuntas terhadap problem ini dan problem-problem yang lahir darinya.

2.3.   Terorisme
1)      Pengertian Terorisme
Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:
1.      Perbuatan (pemerintahan dan sebagainya) yang sewenang-wenang  (kejam, bengis, dsb)
2.      Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. 
Terorisme berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan kekuatan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam terorisme terdapat unsur-unsur:
1.      Tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan.
2.      Tujuan atau kepentingan yang akan di capai oleh pembuat ketakutan dengan tindakan itu,
3.       korban tindakan itu tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai.
 Dengan demikian, tindakan atau  penampilan tertentu yang tanpa disengaja menyebabkan orang lain ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam kategori ketakutan. Demikian hukum atau ketentuan yang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak termasuk kategori terorisme.
Pembahasan melalui terorisme tidak dapat secara tersendiri dalam kitab-kitab fiqh lama. Biasanya pembahasan mengenai terorisme terdapat dalam pasal atau bab tentang pembegal  dan selalu berkenan dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm misalnya, Imam asy- Syafi’I mengatakan :
وإذا أخافوا السبيل ولم يأخذوا مالا نفوا من الأ رض.( سلسلت كتا ب الثعب ج 5 ص129
“Jika mereka menakut-nakuti orang yang lewat di jalan dan tidak mengambil harta, maka hukumanya adalah di buang ketempat yang jauh.”
فإذا عر ض اللصو ص لجماعت أو واحد مكابر ت بسلا ح فاختاف أفعال العا ر ضين. فكا ن منهم من قتل وأخذ المال ومنحم  ...ولو حيبوا و لم يبلغوا قتلا و لا أ خذ مال عز ر وا. ولو هيبوا وجر حوا أقص منهم بما فيه القصا ص و عز ر وا وحبسوا... (نفس المصدر ص 140 )
Jika pencuri-pencuri menghadang sekelompok atu satu orang seraya mengancam dengan senjata, maka perbuatan mereka itu  bermacam-macam. Ada yang membunuh dan mengambil harta, ada yang…jika mereka menakut-nakuti dan tidak sampai membunuh atau mengambil uang, maka hukumannya adalah di takzir. Jika mereka menakut-nakuti dan melukai, maka mereka diqishash kalau luka yang ditimbulkannya termasuk luka yang berhukum  qhisash, ditakzir dan dikurung.
Pembahasan yang serupa juga ditemukan dalam kitab dua Imam Syafi’iyyah yang lain, yakni Imam  al-Nawawi  dan Ibnu Hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya المجموع شرح المهدْب menyatakan:
من ثهر السلاح وأ خاف السبيل في مصر او برية وجب على اللإمام طلبه لأنه إدْا ترك قويت ثوكته وكثر الفساد به في قتل النفوس وأخدْ الأموال. فإن وقع قبل أن يأخذ المال ويقتل النفس عزر وحبس على حسب ماير ا ه ا لسلطان, لأ نه تعرض للدخول فى معصية عظيمة فعزركا لمتعرض للسرقة بالنقب وا لمتعر ض للز نا بالقبلة.[دارالفكر,ج 20 ص 140]
“Jika ada orang yang memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, maka imam (penguasa politik)wajib mencarinya (dan menangkapnya ), karena jika dibiarkan, akan menjadi bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakn dengan senjata itu dalam bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan membunuh, maka ia mesti dihukum takzir dan dibui sesuai dengan pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan merusak pagar dan orang yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan mencium.”
Hukum teroris sekarang, dalam kitab Fiqh, seperti yang dikutip diatas walaupun terdapat pembicaraan mengenai orang yang hanya menakut-nakuti , kesan yang diperoleh adalah bahwa tindakan menakut-nakuti itu berhubungan dengan perampasan harta atau pembunuhan dan dilakukan dijalan.
Dalam tafsir atas ayat tersebut diatas disebutkan bahwa variasi hukuman itu berdasarkan atas yang membunuh saja dengan tidak merampas, pemalangan atu penyaliban untuk mereka yang membunuh dan merampas, pemotongan tangan dan kaki untuk mereka yang hanya merampas, sedangkan pembuangan untuk mereka yang hanya mengganggu ketentraman umum.
Dalam tafsir al- Jalalain, misalnya, dinyatakan :
فا لقتل لمن قتل فقط وال صلب لمن قتل وأخذ  المال وا لقطع لمن أخذ المال ولم يقتل وا لنفى لمن أخاف فقط. قاله ابن عباس وعليه االثافعى وأصح قوليه أن الصلب ثلاثا بعد القتل وقيل قبله قليلا ويلحق بالنفي ما أثبهه في التنكيلمن الحبسوغير ه
“Hukum bunuh merupakan hukuman bagi orang yang membunuh; penyaliban untuk orang yang membunuh dan mengambil harta; potong tangan untuk yang mengambil harta tapi tidak membunuh dan pembuangan untuk orang yang hanya menakut-nakuti. Demikian pendapat yang dikemukakan Ibn’Abbas dan diikuti asy-Syafi’ adalah bahwa penyaliban tiga kali disebutkan setelah hokum bunuh; dikatakan oleh sebagian ulama : sedikit sebelum hukuman mati. Hukuman-hukuman yang menyerupainya seperti pengurungan dikatagorikan dalam pembuangan.”
Ini berarti bahwa terorisme pada umumnya, baik untuk tujuan mengambil harta maupun untuk tujuan-tujuan politik dan lainnnya, masuk dalam bab memerangi Allah dan Rasul-Nya ataual-hirabah, yang hukum dasarnya jelas haram.

Bagaimana memperbaikinya?
 Perlu disebarkan dan ditekankan bahwa perang adalah keadaan darurat, bukan keadaan yang dikehendaki Islam. Perang yang telah terjadi dalam sejarah Islam dapat dikatakan sebagai kecelakaan sejarah, yang sebagiannya dapat dimengerti dan dibenarkan, misalnya ketika umat Islam di Madinah harus mempertahankan diri dari kemungkinan kehancuran fatal  oleh kekuatan kaum kafir atau musyrik Quraisy di Makkah. Islam dari awal kehadirannya mengajarkan kasih sayang dan memaafkan, namun ajaran ini tertutup oleh kesibukan dalam berperang dan terlupakan untuk waktu yang sangat lama.
Perang memang dilakukan oleh nabi Muhammad  SAW, tetapi pada waktu itu tidaak ada pilihan lain untuk mempertahankan diri. Pilihan yang ada hanyalah berperang atau mati. Akan tetapi , ketika kemudian perang juga menghasilkan keuntungan material yang berupa perluasan wilayah kekuasaan dan harta rampasan, kaum muslimin Arab kebablasan dalam melakukan perang. Selanjutnya, perang-perang terus terjadi sebagaimana lazimnya pada masa itu baik baik yang dapat dibenarkan maupun yang yang tidak dan membentuk kebudayaan kekerasan yang didukung ajaran agama. Dukungan ini terjadi, antara lain, karena banyak dari ajaran agama pun dirumuskan pada masa-masa perang.
Pengentasan orang-orang yang tertindas dan malang dari keadaannya yang terpuruk merupakan salah satu kunci penyelesaian  masalah terorisme. Demikian pula pendidikan yang menekankan pada perdamaian dan apresiasi kepada keberagaman . akan tetapi ini menuntut perombakan banyak dari ajaran atau bahakan keseluruhan bangunan ajaran Islam , terutama bagaimana mengambil ajaran dari alQur’an dan Hadits, dua sumber utamanya. Dalam kedua “kitab suci” ini penyembutan kekerasan sebagai  alat untuk mencapai kebaikan sangat banyak sehingga menutupi pesan dasar tentang penghormatan kepada kemanusiaan. Orang yang tidak hati-hati dalam membacanya dapat terjebak dalam pemahaman bahwa memang Islam tidak menghendaki perdamaian, kasih sayang, kesabaran dan nilai-nilai kesantunan yang lain. Misal anggapan al-Qurthubi, dan tafsirnya atas ayat 208 dari surat al-Baqarah, bahwa kaum muslimin tidak boleh mendahului mengajukan inisiatif perdamaian. Kaum muslimin harus menerima uluran tangan perdamaian, tetapi tidak boleh mendahului mengulurkan tangan.
Pendapat seperti ini sangat besar kemungkinannya untuk dianut oleh kaum muslimin sendiri, dengan sedikit moderasi misalnya, dengan menyimpulkan bahwa karena dalam al-Qur’an banyak perintah memerangi orang kafir dan Nabi Muhammad  SAW sendiri sewaktu di Madinah memmpin beberapa peperangan dengan kaum kafir maka memerangi orang kafir itu memang kewajiban seorang muslim. Berdamai dengan orang kafir adalah kesalahan, penyimpangan dari ajaran murni Islam.
                        

2.4.  Gender
1)      Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, yang artinya jenis kelamin. Di dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Menurut Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku.
Kata gender selalu dikaitkan dengan seks. Menurut paham feminisme, terdapat perbedaan antara konsep seks dan gender. Persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan biologis fisiologis merupakan wilayah seks. Misalnya, laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangakan perempuan memiliki rahim dan memproduksi telur. Oleh karenanya, demikian merupakan suatu yang kodrati dan tidak dapat di ubah. Sementara, yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban masuk dalam wilayah gender. Misalnya, perempuan memiliki sifat lemah lembut, emosional, cantik. Sedangakan laki-laki memiliki sifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri itu, baik yang melekat pada perempuan maupun laki-laki tidaklah permanen. Dengan demikian, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, dan yang menyangkut aspek-aspek non biologis lainnya.
Oleh karena itu, Bates berpendapat bahwa gender merupakan interpretasi mental dan kultur terhadap perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemisah antara ruang gerak domestik materi dalam keluarga dan ruang gerak publik di mana laki-laki menjadi aktor utamanya. Dengan demikian, gender adalah persoalan nature dan nurture. Jika yang natural bercorak kodrati (datang dari sananya), maka yang nurture merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.
2)  Gender dalam Perspektif Islam
Islam tidak mengenal diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Islam menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling melengkapi dan bantu membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan.  Baik laki-laki maupun perempuan yang muslim, yang mukmin, dan yang sejenisnya dihadapan Allah sama kedudukannya. Bahwa mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala dari sisi Tuhannya selama mereka berbuat baik. Lagi-lagi ampunan dan pahala itu tidak diberikan kepada mereka hanya karena status seksnya.

Konsep Islam dalam Kesetaraan Gender
1.      Perspektif Pengabdian
Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam pengabdian, satu-satunya perbedaan yang dijadikan ukuran untuk meninggikan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt:
2.      Perspektif Asal Kejadian Perempuan
Al-Qur’an menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan derajat yang sama. Tidak ada isyarat dalam Al-Qur’an bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan yang mempunyai martabat lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam).
3.      Perspektif Kejiwaan
Ada anggapan bahwa dari segi kejiwaan, perempuan memiliki jiwa yang lemah sehingga mudah terkena godaan atau rayuan. Anggapan ini biasanya menyandarkan diri pada peristiwa keberhasilan iblis merayu Adam untuk memkan buah surga disebabkan keberhasilan iblis merayu Hawa terlebih dahulu. Anggapan ini jelas tidak benar karena dalam Al-Qur’an terlihat bahwa godaan dan rayuan iblis ditujukan kepada laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), bukan hanya kepada Hawa saja, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

4.     Perspektif Kemanusiaan
Salah satu tradisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut miskin atau tercemar namanya
Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan revolusi terhadap tradisi yang telah menginjak-nginjak kemanusiaan, terutama terhadap kaum perempuan. Islam melarang tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan mengecamnya sebagai perbuatan yang sangat biadab.
5.     Perspektif Pendidikan dan Pengajaran
Dalam Islam, menuntut ilmu dibuka seluas-luasnya kepada perempuan seperti halnya laki-laki. Perempuan diwajibkan menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad saw:
عن أنس بن ما لك قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فر يضة على كل مسلم
“Dari Anas bin Malik berkata, Bersabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim”.

                  Selain dari beberapa perspektif diatas, peran kaum perempuan sebagai mitra kaum laki-laki dalam berbagai aktivitas sosial, politik, dan lain-lain juga sangat diharapkan, dicontohkan antara lain sebagai berikut:
a.       Perempuan dalam kegiatan sosial
Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan supaya muslimin dan muslimat mengeluarkan zakat harta benda. Dengan demikian, sebagaimana laki-laki, perempuan pun bekewajiban ikut memikirkan masalah sosial dan melaksanakan penanggulangannya.
b.      Perempuan dalam kegiatan politik
Islam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berkecimpung dalam kegiatan politik, ini bisa terlihat pada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali bidang politik dan kenegaraan.
Perempuan juga turut bertanggung jawab atas bidang ini. Itulah antara lain peranan perempuan di rumah tangga dan masyarakat, dimana hal ini menunjukkan bahwa perempuan itu adalah mitra sejajar laki-laki, baik di rumah tangga maupun di masyarakat.
2.5.    Sejarah ISIS
ISIS sebelumnya adalah bagian dari Al-Qaidah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ISIS sempat menyatakan diri bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang menyatakan diri sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. Namun karena metode ISIS/ISIL dianggap bertentangan dengan Al-Qaidah lantaran telah berbelok dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah, ISIS dianggap tidak lagi sejalan dengan Al-Qaidah. Sebagai balasannya, Front Al-Nusra lalu melancarkan serangan perlawanan terhadap ISIS/ISIL guna merebut kembali kontrol atas Abu Kamal, wilayah timur Suriah yang berbatasan dengan Irak. Namun karena kebrutalan dan ambisi dari ISIS yang tidak segan melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap para penentangnya, ISIS bisa menguasai sebagian besar wilayah Irak. Bahkan dibawah kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ISIS mendeklarasikan Negara Islam di sepanjang Irak dan Suriah dan juga menyatakan Al-Baghdadi akan menjadi pemimpin bagi umat muslim di seluruh dunia.
Pada 15 Mei 2010 diangkatlah pemimpin baru yaitu Abu Bakar Al-Baghdadi untuk menggantikan Abu Umar Al Baghdadi yang telah meninggal. Seiring dengan Revolusi di Jazirah Arab yang dikenal denganMusim Semi Arab dalam menumbangkan para diktator seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir, maka terjadi pula revolusi di Suriah, hanya saja demonstrasi rakyat di Suriah disambut dengan kekerasan dari Tentara Presiden Bashar Assad. Akibatnya Rakyat Suriah melakukan perlawaan dalam kelompok-kelompok bersenjata. Kelompok-kelompok ini dibantu oleh para pejuang dari luar negeri termasuk dari Negara Islam Irak. Dan ketika kelompok-kelompok pejuang rakyat Suriah ini akhirnya mampu membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan Irak maka menyatulah beberapa kota di Irak dan di Suriah dalam kontrol Negara Islam Irak.
ISIS dianggap lebih berbahaya ketimbang Al-Qaidah karena mempunyai ribuan personel pasukan perang, yang siap mendeklarasikan perang terhadap mereka yang dianggap bertentangan atau menentang berdirinya negara Islam. Mereka menjadi kekuatan politik baru yang siap melancarkan serangan yang jauh lebih brutal daripada Al-Qaidah. Gerakan revolusi yang mulanya mempunyai misi mulia untuk menggulingkan rezim otoriter ini berubah menjadi tragedi. ISIS menjadi sebuah kekuatan baru yang siap melancarkan perlawanan sengit terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak mampu mengemban misi terbentuknya negara Islam. Ironisnya, mereka mengabsahkan kekerasan untuk menindas kaum minoritas dan menyerang rezim yang tidak sejalan dengan paradigma negara Islam. ISIS menjadi kekuatan politik riil dengan ideologi yang jelas dan wilayah yang diduduki dengan cara-cara kekerasan.





Ideologi dan Kepercayaan
ISIS mengikuti ekstrim anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan, ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam.
Ideologi ISIS berasal dari cabang Islam modern yang bertujuan untuk kembali ke masa-masa awal Islam, menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah "korup" dari semangat aslinya. Mengutuk kekhalifahan terakhir dan kekaisaran Ottoman karena menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan karenanya telah berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada beberapa komentator Sunni, Zaid Hamid, misalnya, dan bahkan Salafi dan mufti jihad seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait tidak mempresentasikan Sunni sama sekali, tapi menuduh Khawarij bidah yang melayani agenda kekaisaran anti-Islam.
Salafi seperti ISIS percaya bahwa hanya otoritas yang sah dapat melakukan kepemimpinan jihad, dan bahwa prioritas pertama atas pertempuran di daerah lain, seperti berperang melawan negara-negara non-Muslim, adalah sebagai pemurnian masyarakat Islam. Misalnya, ketika memandang konflik Israel-Palestina, karena ISIS menganggap kelompok Sunni Palestina Hamas sebagai murtad yang tidak memiliki kewenangan yang sah untuk memimpin jihad, mereka anggap melawan Hamas sebagai langkah pertama sebelum menuju konfrontasi dengan Israel. 


















III.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa banyak sedikitnya Islam juga telah mengalami beberapa imbas dari era modernisasi yang dikatakan serba positivistic dan serba terukur itu. Dengan berstandar acuan pada ukuran rasionalitas dan pendewasaan akal pikiran, ragam polemik baru, justru muncul di tubuh Islam. Tentunya dengan menilik juga dari sisi baik dan buruknya. Dapat kita ketahui secara bersama pula bahwa isu-isu kontemporer yang bermunculan dalam Islam memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari wacana-wacana  sosio-politis dunia yang sedikit memaksa ke-universal-annya untuk merealisasikan eksistensi ataupun menancapkan pengaruh serta hegemoni.
Kita tidak mungkin untuk menolak modernisasi tapi kita bisa berpegang pada slogan Islam yaituAl Muhafadhoh ‘ala al-qadim al-shalih wa al-ahdzubi al-jadid al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Ataupun dalam tantangan intelektualisme (ilmiah akademis) dalam kerangka maraknya kajian keagamaan kontemporer yang mengarah pada pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan hanya dalam bentuk pernyataan-pernyataan teoritik dan konseptual semata, sehingga bisa diterima oleh pihak lainnya.






















DAFTAR PUSTAKA

Husaini, Adian dkk. 2002. Islam LiberalJakarta: GEMA INSANI PRESS
Husaini, Adian. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta:
Gema Insani
Ichwan, Mohamad Nor . 2013. Prof.M. Quraish Shihab  Membincang Persoalan   Gender. Semarang: RaAIL Media Group.
Nata, Abudin. 2011. STUDI ISLAM KOMPERHENSIF. Jakarta: Kencana
Rachman, Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam untuk Liberalisme. Jakarta:
Gramedia
Syam, Nur. 2010. Agama Pelacur. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.
Thoha, Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta:
Gema Insani
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam diakses pada 20 Oktober 2014 pukul 11.15
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2010. Fiqih Perempuan Kontemporer.  Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.




[1]Abudin Nata, STUDI ISLAM KOMPERHENSIF, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 522
[2]Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Liberalisme, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm 3-4
[3]Budhy Munawar-Rachman, MEMBELA KEBEBASAN BERAGAMA Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, ( Jakarta: LSAF, 2010), hlm li
[4] Abuddin Nata, STUDI ISLAM KOMPERHENSIF,…,hlm523-524.
[5]Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2002) hlm. 12-13
[6]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm 6-
[7]Adian Husaini,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm 132
[8] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,…, hlm 209-210
[9]Mohamad Nor Ichwan, Prof.M. Quraish Shihab  Membincang Persoalan Gender,(Semarang: RaAIL Media Group, 2013), hlm 2-3
[10] Nur Syam, Agama Pelacur, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2010)  hlm. 13-16
[11] Huzaimah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm 91
[12] Mohamad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish Shihab, … , hlm 5
[13] Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, … , hlm 91-101
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam diakses pada 20 Oktober 2014 pukul 11





#makalahagamaislam.
#laporanagamaislam













         

0 komentar:

Posting Komentar