I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada era modernisasi ini,
kehidupan modern yang bisa dikatakan serba positivistik dan serba terukur,
dianggap telah gagal mengatasi problem-problem kehidupan dengan ukuran
rasionalitas dan pendewasaan akal pikirannya. Bahkan acapkali menimbulkan
ragam, problem baru yang mengusik hati nurani umat manusia, suatu contoh misal
dekadensi moral dan aksi radikal.
Pengaruh mordenisasi bak
wabah yang mulai cepat merabah ke berbagai daerah diluar peradaban barat,
hingga sampai wilayah-wilayah muslim di daerah timur dengan mengusung beberapa
konsep diantaranya seputar masalah HAM, demokrasi, kesetaraan gender,
pluralisme, liberalisme serta sekularisme.
Konsep-konsep tersebut
mendapat respon dengan berbagai sikap oleh masyarakat muslim yang tentu saja
konsekuensinya juga menawarkan beragam konflik ditubuh Islam itu sendiri dari
beberapa kalangan muslim di berbagai tempat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian liberalisme dan bagaimana perspektif Islam mengenai
Liberalisme?
2. Apa pengertian gender dan bagaimana gender dalam perspektif Islam ?
3. Apa pengertian plularisme
dan bagaimana pluralisme dalam Islam?
4. Apa pengertian terorisme ?
II. PEMBAHASAN
2.1. Liberalisme
Menurut bahasa, kata
liberal berasal dari bahasa Inggris, liberal, yang berarti penganut
liberalisme, dan berarti pula bebas, liberal, tidak picik. Dengan demikian,
Islam liberal berarti Islam yang serba bebas, luas, dan tidak picik dalam memahami
Islam. Kata liberal atau bebas yang berada di belakang kata Islam tersebut
adalah bebas dari belenggu taklid (mengikuti pendapat orang tanpa sikap
kritis), bebas untuk kembali dan mengakses Al-Qur’an dan As-Sunnah secara
langsung.
Liberalisme adalah paham
yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial.
Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia mempunyai kebebasan atau
kalau kita lihat dari perspektif filosofi, merupakan tata pemikiran yang
landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu
berfikir dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Prinsip-prinsip
liberalisme itu sendiri yaitu kebebasan dan tanggungjawab. Salah satu agenda
liberalisme adalah mengandalkan rasio dan kesadaran sosial para individu untuk
menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Liberalisme dalam Islam
adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang.
Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiaran ulang sehingga Islam
menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan
selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan perlu cara pandang baru dalam
melihat dan memahami agama. Dalam tradisi filsafat Islam ada kebebasan berpikir
yang berusaha memberikan alternatif bagi pemahaman ortodoks.
Oleh sebab itu wajar bila
sekarang banyak para sarjana muslim yang mengatakan akar-akar liberalisme dalam
Islam bisa ditelusuri pada dua disiplin keilmuan Islam, yaitu filsafat dan
tasawuf, filsafat memberi landasan intelektual dan rasional, sementara tasawuf
memberi landasan spiritual.
Islam liberal adalah Islam
yang memilih akses penafsiran Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan metode dan
pendekatan dalam penafsiran, melakukan reinterpretasi terhadap penafsiran Islam
masa lalu yang tidak sesuai, ingin keluar dari belenggu taklid dan kembali
melakukan ijtihad dalam rangka melahirkan gagasan dan pemikiran yang sesuai
dengan zaman, serta ingin keluar dari ikatan tradisi yang tidak sesuai dengan
spirit Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai sumber Islam yang membawa kemajuan.
Islam liberal sendiri
keberadaannya di Indonesia di pelopori oleh Nurcholis
Madjid, seorang tokoh yang sebelumnya sudah meluncurkan gagasan sekularisasi
dan ide-ide teologi inklusif-pluralis. Lewat Islam liberal inilah Nurcholis Madjid
mengembangkan gagasannya lebih intensif yang lebih dikenal dengan Jaringan
Islam liberal (JIL). Mulai aktif pada Maret 2001, lewat diskusi maya (milis),
koran jaringannya dan radio jaringannya, JIL meluncurkan gagasan-gagasannya di
Indonesia.
Di kalangan masyarakat pada
umumnya, Islam liberal di nilai sebagai Islam yang tidak baik, karena Islam
liberal dihubungkan dengan sikap yang bebas dalam memahami Islam, bahkan bebas
untuk tidak tunduk pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak
mengikuti ketentuan syariat (fikih), dan berbagai tindakan bebas lainnya.
Ali Abdul Raziq (1866-1966)
tampaknya adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam liberal. Karya
dari Ali Abdul Raziq, Islam wa ushul al-hukum Islam dan
Dasar-Dasar pemerintahan. Para ulama memutuskan untuk mencabut Ijazah Raziq dan
mengeluarkannya dari kelompok ulama Al-Azhar. Tujuh butir
kesalahan fatal yang dibuat Raziq
yaitu:
1. Menjadikan syariat Islam
sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau pelaksanaan duniawi.
2. Berpendapat bahwa jihad
Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk
mensyiarkan agama ke seluruh dunia.
3. Menyatakan bahwa lembaga
pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan
membingungkan.
4. Berpendapat bahwa tanggung
jawab Muhammad hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa dan
pemerintah.
5. Menganggap sepi ijma’ para
sahabat Rasulullah yang menganggap umat mesti menunjukkan seseorang untuk
mengolah urusan keagamaan dan keduniawian serta mengakui adanya kewajiban
mengangkat seorang imam.
6. Mengingkari bahwa kehakiman
merupakan fungsi syariat.
7. Berpendapat bahwa
pemerintahan Abu Bakar Assidiq adalah pemerintahan yang sekuler.
Tapi
ulama model Raziq inilah yang digandrumi kaum Islam liberal (para pemikir
barat), pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah
Kibaril Ulama ( dewan ulama terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama. Bila dicermati, intinya Ali
Abd Raziq menolak Daulah Islamiah atau khalifah Islamiah bagi kaum muslim.
2.2. Pluralisme
1) Pengertian Pluralisme
Pemikiran
pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment)
Eropa, tepatnya pada abad ke 18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan
agama.
Setidaknya terdapat dua
faktor utama penyebab munculnya gagasan pluralisme agama. Pertama, yaitu faktor
internal berupa realitas perbedaan keyakinan antar agama yang sifatnya
mendasar. Perbedaan tersebut terutama nampak pada bidang-bidang
aqidah/keimanan/ideologis, bidang sejarah yang mempengaruhi secara langsung
unsur-unsur keyakinan agama dan juga masalah konsep superioritas agama.
Kedua, yaitu faktor
eksternal yang bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, faktor yang
bersifat sosio-politis, yang erat berkaitan dengan wacana-wacana sosio-politis,
demokrasi, nasionalisme, dan HAM yang telah melahirkan sistem
"Negara-Bangsa" dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini
dikenal dengan globalisasi. Kedua, faktor ilmiah akademis yang terejawantahkan
dalam kerangka maraknya kajian keagamaan kontemporer, dimana sebagian pakar
keagamaaan mencoba memformulasikan teori pluralismenya berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan yang telah mereka capai.
Secara etimologis,
pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan
"agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "Al-ta'addudiyah
al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religous
pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari
bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada
kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jamak"
atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga
pengertian. Pertamapengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang
yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang
dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun
non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari
satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu
sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras,
suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan
yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga,
pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu
koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Adapun secara terminologis,
pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam
artian yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri spesisifik atau ajaran masing-masing agama.
Namun dari segi konteks
dimana "pluralisme agama" sering digunakan dalam studi-studi dan
wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan
definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula pada (dictionary
definition). Jhon Hick misalnya, menegaskan bahwa:
”.....pluralism is the view that the great
world faiths embody different perceptions and conseptions of, and
corespondingly different responses to, the real or ultimate from within the
major variant cultural ways of being human; and that within each of them the
transformation of human existence from self-centredness to reality centredness
is manifestly taking place--and taking place, so far as human observation can
tell, to much the same extent."
(....pluralisme agama adalah suatu gagasan
bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda
tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, yang
Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi;
dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju
pemusatan-hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata
kultural manusia tersebut--dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada
batas yang sama)
Dengan
kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan
"manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu". Dengan demikian,
semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Sangat
jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama diatas adalah berangkat dari
pendekatan substansif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat
sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan
kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai
suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan
"reduksi" pengertian agama yang sangat dahsyat. Dan yang sungguh
mengejutkan, ternyata "pemahaman reduksionistik" inilah justru yang
semakin populer dan bahkan diterima dikalangan para ahli dari berbagai disiplin
ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam
dunia pemikiran manusia yang jelas tentunya berbeda dengan apa yang sudah
dikenali secara umum. Yaitu suatu fenomena pemikiran baru yang unik tentang
"persamaan agama" (religious equality). Sesungguhnya pemahaman
agama yang reduksionistik inilah yang merupakan "pangkal
permasalahan" sosio-teologis modern yang sangat akut, yang tak mungkin
diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu
sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada
pengertiannya yang benar dan komperehensif, tak reduksionistik.
2) Pluralisme Islam
Istilah pluralisme tidaklah
dikenal secara populer dan tidak banyak dipakai dikalangan Islam kecuali sejak
kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi
perkembangan penting dalam kebijakan Internasional barat yang baru, yang
memasuki sebuah fase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai "Marhalat
al-Ijtiyah" (fase pembinaan). Yakni sebuah perkembangan yang prinsipnya
tergurat dan tergambar jelas dalam upaya barat guna menjajakan ideologi
modern-nya yang mereka anggap universal. Seperti Demokrasi, pluralisme, HAM,
serta pasar bebas, yang kemudian mengekspornya untuk luar dalam rangka mencapai
berbagai kepentingannya yang beragam. Suatu kebijakan yang telah dikemas atas
dasar "superioritas" ras dan kultur barat, serta peremehan atau
penghinaan terhadap segala sesuatu yang bukan barat. Islam khususnya, dengan
berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi,
fundamentalis, sektarian dan sebagainya. Maka sebagai respons terhadap
perkembangan politis baru ini, masalah pluralisme mulai mencuat dan concern
kalangan cerdik-cendekia Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling
laku dipasar pemikiran Arab Islam kontemporer.
Menurut hemat penulis,
isu-isu pluralitas keagamaan dalam pandangan para ulama Islam lebih mengupas
masalah yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus
individu-individu dan kelompok-kelompok yang hidup didalam sebuah tatanan
masyarakat yang satu, baik yang menyangkut hak ataupun kewajiban, untuk
menjamin ketentraman dan perdamain umum. Jadi, permasalahannnya lebih merupakan
masalah aplikatif, praktis dan historis, daripada masalah keimanan
atau teologis. Dimana waktu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan
semuanya pada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau
keyakinan sesuai dengan yang mereka yakini, .
Di
Indonesia sendiri,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya di tahun 2005, yang
menyebut bahwa paham pluralisme agama adalah paham yang bertentangan dengan
Islam. Dengan lebih menitikberatkan pada soal definisi pluralisme agama itu
sendiri, karena seperti kita ketahui bersama bahwa istilah ini telah mengalami
perubahan definisi seperti yang sudah dijelaskan di bagian atas.
Jika istilah pluralisme
agama tidak terjadi pergeseran makna, maka tidaklah perlu umat Islam dan juga
umat agama lain repot-repot untuk menjawabnya. Selain
MUI, Vatikan sudah terlebih dahulu bersikap tegas terhadap paham ini,
dengan keluarnya Dekrit Dominus Jesus (2000). Di kalangan Protestan pun muncul
reaksi keras terhadap paham ini. Dalam sebuah buku Pendidikan Agama Kristen
untuk mahasiswa yang berjudul Beriman dan Berilmu: Panduan Pendidikan
Agama Kristen untuk Mahasiswa dijelaskan:
"Pluralisme bukan
sekadar menghargai pluralitas agama tetapi sekaligus menganggap (penganut)
agama lain setara dengan agamanya. Ini adalah sikap yang mampu menerima dan
menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta
mengakui adanya jalan kesempatan di dalamya. Di satu pihak, jika tidak
berhati-hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan polarisasi iman.
Artinya keimananya atas agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar
dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak lain."[7]
Dalam Islam, Pluralitas
merupakan "hukum ilahi" yang abadi di semua bidang kehidupan,
sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama mahluk Allah.
Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu
suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata karena memang adanya
kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT, dalam setiap
ciptaan-Nya. Dan pluralitas yang menyangkut agama, yaitu topik yang sedang kita
bicarakan, dalam konteks Islam yang tepat adalah berarti pengakuan akan
eksisitensi agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh kararkteristik
dan kekhususannya, dan menerima ke-"lain-"an yang lain beserta haknya
untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan.
Namun
setelah itu semua, disini perlu ditambahkan bahwa mengakui eksistensi praktis
agama-agama yang lain, dalam pandangan Islam, tidak secara otomatis mengakui
legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Melainkan lebih tepatnya,
menerima kehendak Allah SWT, dalam menciptakan agama-agama ini sebagai
berbeda-beda dan beragam. Karena Allah SWT yang Maha Bijaksana telah
menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk
dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang (balanced); ada baik
dan buruk, haq dan batil, malaikat dan setan, siang dan malam, cahaya dan
gelap, laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya.
Apabila kita berhasil
menempatkan problem pluralitas agama dalam konteks penciptaan ilahi, dan dalam
konteks kehendak ilahi ini, maka kita pasti akan mampu keluar dari problem ini
dengan pemahaman yang benar tentang problem ini sendiri dan rahasia-rahasia yang
yang berada di sebaliknya, dan pada saat yang sama kita juga akan mampu keluar
dengan solusi yang memuaskan dan tuntas terhadap problem ini dan
problem-problem yang lahir darinya.
2.3. Terorisme
1) Pengertian Terorisme
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:
1. Perbuatan (pemerintahan dan
sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb)
2. Usaha menciptakan
ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Terorisme berarti penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan kekuatan dalam usaha mencapai suatu tujuan
(terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror.
Dari berbagai definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam terorisme terdapat unsur-unsur:
1. Tindakan yang disengaja
untuk menimbulkan ketakutan.
2. Tujuan atau kepentingan
yang akan di capai oleh pembuat ketakutan dengan tindakan itu,
3. korban tindakan itu
tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian, tindakan
atau penampilan tertentu yang tanpa disengaja menyebabkan orang lain
ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam kategori ketakutan. Demikian hukum
atau ketentuan yang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak
termasuk kategori terorisme.
Pembahasan melalui
terorisme tidak dapat secara tersendiri dalam kitab-kitab fiqh lama. Biasanya
pembahasan mengenai terorisme terdapat dalam pasal atau bab tentang
pembegal dan selalu berkenan dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm
misalnya, Imam asy- Syafi’I mengatakan :
وإذا أخافوا السبيل ولم
يأخذوا مالا نفوا من الأ رض.( سلسلت كتا ب الثعب ج 5 ص129
“Jika mereka menakut-nakuti orang yang lewat
di jalan dan tidak mengambil harta, maka hukumanya adalah di buang ketempat
yang jauh.”
فإذا عر ض اللصو ص لجماعت أو
واحد مكابر ت بسلا ح فاختاف أفعال العا ر ضين. فكا ن منهم من قتل وأخذ المال
ومنحم ...ولو حيبوا و لم يبلغوا قتلا و لا أ خذ مال عز ر وا. ولو هيبوا
وجر حوا أقص منهم بما فيه القصا ص و عز ر وا وحبسوا... (نفس المصدر ص 140 )
“Jika pencuri-pencuri
menghadang sekelompok atu satu orang seraya mengancam dengan senjata, maka
perbuatan mereka itu bermacam-macam. Ada yang membunuh dan mengambil
harta, ada yang…jika mereka menakut-nakuti dan tidak sampai membunuh atau
mengambil uang, maka hukumannya adalah di takzir. Jika mereka menakut-nakuti
dan melukai, maka mereka diqishash kalau luka yang ditimbulkannya termasuk luka
yang berhukum qhisash, ditakzir dan dikurung.
Pembahasan
yang serupa juga ditemukan dalam kitab dua Imam Syafi’iyyah yang lain, yakni
Imam al-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya, المجموع شرح المهدْب menyatakan:
من ثهر السلاح وأ خاف السبيل
في مصر او برية وجب على اللإمام طلبه لأنه إدْا ترك قويت ثوكته وكثر الفساد به في
قتل النفوس وأخدْ الأموال. فإن وقع قبل أن يأخذ المال ويقتل النفس عزر وحبس على
حسب ماير ا ه ا لسلطان, لأ نه تعرض للدخول فى معصية عظيمة فعزركا لمتعرض للسرقة
بالنقب وا لمتعر ض للز نا بالقبلة.[دارالفكر,ج 20 ص 140]
“Jika ada orang yang
memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, maka imam (penguasa
politik)wajib mencarinya (dan menangkapnya ), karena jika dibiarkan, akan
menjadi bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakn dengan senjata itu
dalam bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil
harta dan membunuh, maka ia mesti dihukum takzir dan dibui sesuai dengan
pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan
besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan
merusak pagar dan orang yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan
mencium.”
Hukum
teroris sekarang, dalam kitab Fiqh, seperti yang dikutip diatas walaupun
terdapat pembicaraan mengenai orang yang hanya menakut-nakuti , kesan yang
diperoleh adalah bahwa tindakan menakut-nakuti itu berhubungan dengan
perampasan harta atau pembunuhan dan dilakukan dijalan.
Dalam
tafsir atas ayat tersebut diatas disebutkan bahwa variasi hukuman itu
berdasarkan atas yang membunuh saja dengan tidak merampas, pemalangan atu
penyaliban untuk mereka yang membunuh dan merampas, pemotongan tangan dan kaki
untuk mereka yang hanya merampas, sedangkan pembuangan untuk mereka yang hanya
mengganggu ketentraman umum.
Dalam tafsir al- Jalalain,
misalnya, dinyatakan :
فا لقتل لمن قتل فقط وال صلب
لمن قتل وأخذ المال وا لقطع لمن أخذ المال ولم يقتل وا لنفى لمن أخاف
فقط. قاله ابن عباس وعليه االثافعى وأصح قوليه أن الصلب ثلاثا بعد القتل وقيل قبله
قليلا ويلحق بالنفي ما أثبهه في التنكيلمن الحبسوغير ه
“Hukum bunuh merupakan hukuman bagi orang yang membunuh;
penyaliban untuk orang yang membunuh dan mengambil harta; potong tangan untuk
yang mengambil harta tapi tidak membunuh dan pembuangan untuk orang yang hanya
menakut-nakuti. Demikian pendapat yang dikemukakan Ibn’Abbas dan diikuti
asy-Syafi’ adalah bahwa penyaliban tiga kali disebutkan setelah hokum bunuh;
dikatakan oleh sebagian ulama : sedikit sebelum hukuman mati. Hukuman-hukuman
yang menyerupainya seperti pengurungan dikatagorikan dalam pembuangan.”
Ini berarti bahwa
terorisme pada umumnya, baik untuk tujuan mengambil harta maupun untuk
tujuan-tujuan politik dan lainnnya, masuk dalam bab memerangi Allah dan
Rasul-Nya ataual-hirabah, yang hukum dasarnya jelas haram.
Bagaimana memperbaikinya?
Perlu
disebarkan dan ditekankan bahwa perang adalah keadaan darurat, bukan keadaan
yang dikehendaki Islam. Perang yang telah terjadi dalam sejarah Islam dapat
dikatakan sebagai kecelakaan sejarah, yang sebagiannya dapat dimengerti dan
dibenarkan, misalnya ketika umat Islam di Madinah harus mempertahankan diri
dari kemungkinan kehancuran fatal oleh kekuatan kaum kafir atau
musyrik Quraisy di Makkah. Islam dari awal kehadirannya mengajarkan kasih
sayang dan memaafkan, namun ajaran ini tertutup oleh kesibukan dalam berperang
dan terlupakan untuk waktu yang sangat lama.
Perang memang dilakukan
oleh nabi Muhammad SAW, tetapi pada waktu itu tidaak ada pilihan
lain untuk mempertahankan diri. Pilihan yang ada hanyalah berperang atau mati.
Akan tetapi , ketika kemudian perang juga menghasilkan keuntungan material yang
berupa perluasan wilayah kekuasaan dan harta rampasan, kaum muslimin Arab
kebablasan dalam melakukan perang. Selanjutnya, perang-perang terus terjadi
sebagaimana lazimnya pada masa itu baik baik yang dapat dibenarkan maupun yang
yang tidak dan membentuk kebudayaan kekerasan yang didukung ajaran agama.
Dukungan ini terjadi, antara lain, karena banyak dari ajaran agama pun
dirumuskan pada masa-masa perang.
Pengentasan orang-orang
yang tertindas dan malang dari keadaannya yang terpuruk merupakan salah satu
kunci penyelesaian masalah terorisme. Demikian pula pendidikan yang
menekankan pada perdamaian dan apresiasi kepada keberagaman . akan tetapi ini
menuntut perombakan banyak dari ajaran atau bahakan keseluruhan bangunan ajaran
Islam , terutama bagaimana mengambil ajaran dari alQur’an dan Hadits, dua
sumber utamanya. Dalam kedua “kitab suci” ini penyembutan kekerasan
sebagai alat untuk mencapai kebaikan sangat banyak sehingga menutupi
pesan dasar tentang penghormatan kepada kemanusiaan. Orang yang tidak hati-hati
dalam membacanya dapat terjebak dalam pemahaman bahwa memang Islam tidak
menghendaki perdamaian, kasih sayang, kesabaran dan nilai-nilai kesantunan yang
lain. Misal anggapan al-Qurthubi, dan tafsirnya atas ayat 208 dari surat
al-Baqarah, bahwa kaum muslimin tidak boleh mendahului mengajukan inisiatif
perdamaian. Kaum muslimin harus menerima uluran tangan perdamaian, tetapi tidak
boleh mendahului mengulurkan tangan.
Pendapat
seperti ini sangat besar kemungkinannya untuk dianut oleh kaum muslimin
sendiri, dengan sedikit moderasi misalnya, dengan menyimpulkan bahwa karena
dalam al-Qur’an banyak perintah memerangi orang kafir dan Nabi
Muhammad SAW sendiri sewaktu di Madinah memmpin beberapa peperangan
dengan kaum kafir maka memerangi orang kafir itu memang kewajiban seorang
muslim. Berdamai
dengan orang kafir adalah kesalahan, penyimpangan dari ajaran murni Islam.
2.4. Gender
1) Pengertian Gender
Kata gender berasal
dari bahasa Inggris, yang artinya jenis kelamin. Di dalam Webster’s New
World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Menurut
Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu
tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa
gender dimaksudkan
untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu
pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku.
Kata gender selalu
dikaitkan dengan seks. Menurut paham feminisme, terdapat perbedaan antara
konsep seks dan gender. Persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan biologis
fisiologis merupakan wilayah seks. Misalnya, laki-laki memiliki penis dan
memproduksi sperma. Sedangakan perempuan memiliki rahim dan memproduksi telur.
Oleh karenanya, demikian merupakan suatu yang kodrati dan tidak dapat di ubah.
Sementara, yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban masuk dalam
wilayah gender. Misalnya, perempuan memiliki sifat lemah lembut, emosional,
cantik. Sedangakan laki-laki memiliki sifat kuat, rasional, jantan, dan
perkasa. Ciri-ciri itu, baik yang melekat pada perempuan maupun laki-laki
tidaklah permanen. Dengan demikian, gender merupakan suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural, dan yang menyangkut aspek-aspek non biologis lainnya.
Oleh karena itu, Bates
berpendapat bahwa gender merupakan interpretasi mental dan kultur terhadap
perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia juga
digambarkan sebagai pemisah antara ruang gerak domestik materi dalam keluarga
dan ruang gerak publik di mana laki-laki menjadi aktor utamanya. Dengan
demikian, gender adalah persoalan nature dan nurture. Jika yang natural
bercorak kodrati (datang dari sananya), maka yang nurture merupakan hasil
konstruksi sosial dan budaya masyarakat tentang perbedaan laki-laki dan
perempuan.
2) Gender dalam Perspektif
Islam
Islam tidak mengenal
diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Islam menempatkan perempuan
sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah
akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing
jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa
memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling melengkapi dan bantu
membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan. Baik
laki-laki maupun perempuan yang muslim, yang mukmin, dan yang sejenisnya
dihadapan Allah sama kedudukannya. Bahwa mereka akan mendapatkan ampunan dan
pahala dari sisi Tuhannya selama mereka berbuat baik. Lagi-lagi ampunan dan
pahala itu tidak diberikan kepada mereka hanya karena status seksnya.
Konsep Islam dalam Kesetaraan
Gender
1. Perspektif Pengabdian
Islam
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam pengabdian, satu-satunya
perbedaan yang dijadikan ukuran untuk meninggikan atau merendahkan derajat
mereka hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Allah swt. Sebagaimana
firman Allah swt:
2. Perspektif Asal Kejadian
Perempuan
Al-Qur’an menerangkan bahwa
perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan derajat yang sama. Tidak ada
isyarat dalam Al-Qur’an bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh
Allah adalah suatu ciptaan yang mempunyai martabat lebih rendah dari laki-laki
pertama (Adam).
3. Perspektif Kejiwaan
Ada anggapan bahwa dari
segi kejiwaan, perempuan memiliki jiwa yang lemah sehingga mudah terkena godaan
atau rayuan. Anggapan ini biasanya menyandarkan diri pada peristiwa
keberhasilan iblis merayu Adam untuk memkan buah surga disebabkan keberhasilan
iblis merayu Hawa terlebih dahulu. Anggapan ini jelas tidak benar karena dalam
Al-Qur’an terlihat bahwa godaan dan rayuan iblis ditujukan kepada laki-laki dan
perempuan (Adam dan Hawa), bukan hanya kepada Hawa saja, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an:
4. Perspektif Kemanusiaan
Salah satu tradisi bangsa Arab sebelum
kedatangan Islam ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut
miskin atau tercemar namanya
Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan
revolusi terhadap tradisi yang telah menginjak-nginjak kemanusiaan, terutama
terhadap kaum perempuan. Islam melarang tradisi penguburan hidup-hidup bayi
perempuan dan mengecamnya sebagai perbuatan yang sangat biadab.
5. Perspektif Pendidikan dan
Pengajaran
Dalam Islam, menuntut ilmu
dibuka seluas-luasnya kepada perempuan seperti halnya laki-laki. Perempuan
diwajibkan menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad
saw:
عن أنس بن ما لك قا ل رسول
الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فر يضة على كل مسلم
“Dari Anas bin Malik
berkata, Bersabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim”.
Selain
dari beberapa perspektif diatas, peran kaum perempuan sebagai mitra kaum
laki-laki dalam berbagai aktivitas sosial, politik, dan lain-lain juga sangat
diharapkan, dicontohkan antara lain sebagai berikut:
a. Perempuan dalam kegiatan sosial
Dalam
Al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan supaya muslimin dan muslimat
mengeluarkan zakat harta benda. Dengan demikian, sebagaimana laki-laki,
perempuan pun bekewajiban ikut memikirkan masalah sosial dan melaksanakan
penanggulangannya.
b. Perempuan dalam kegiatan politik
Islam
memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berkecimpung dalam kegiatan
politik, ini bisa terlihat pada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang
memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ini
berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali bidang politik dan
kenegaraan.
Perempuan
juga turut bertanggung jawab atas bidang ini. Itulah antara lain peranan
perempuan di rumah tangga dan masyarakat, dimana hal ini menunjukkan bahwa
perempuan itu adalah mitra sejajar laki-laki, baik di rumah tangga maupun di
masyarakat.
2.5. Sejarah ISIS
ISIS sebelumnya adalah
bagian dari Al-Qaidah. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ISIS sempat
menyatakan diri bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang menyatakan diri
sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. Namun karena metode
ISIS/ISIL dianggap bertentangan dengan Al-Qaidah lantaran telah berbelok dari
misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan
Suriah, ISIS dianggap tidak lagi sejalan dengan Al-Qaidah. Sebagai balasannya, Front Al-Nusra lalu
melancarkan serangan perlawanan terhadap ISIS/ISIL guna merebut kembali kontrol
atas Abu Kamal, wilayah timur Suriah yang berbatasan dengan Irak. Namun karena
kebrutalan dan ambisi dari ISIS yang tidak segan melakukan penyiksaan bahkan
pembunuhan terhadap para penentangnya, ISIS bisa menguasai sebagian besar
wilayah Irak. Bahkan dibawah kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ISIS
mendeklarasikan Negara Islam di sepanjang Irak dan Suriah dan juga menyatakan
Al-Baghdadi akan menjadi pemimpin bagi umat muslim di seluruh dunia.
Pada
15 Mei 2010 diangkatlah pemimpin baru yaitu Abu Bakar Al-Baghdadi untuk
menggantikan Abu Umar Al Baghdadi yang telah meninggal. Seiring dengan Revolusi di
Jazirah Arab yang dikenal denganMusim Semi Arab dalam menumbangkan para diktator
seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir, maka terjadi pula revolusi di
Suriah, hanya saja demonstrasi rakyat di Suriah disambut dengan kekerasan dari
Tentara Presiden Bashar Assad. Akibatnya Rakyat Suriah
melakukan perlawaan dalam kelompok-kelompok bersenjata. Kelompok-kelompok ini
dibantu oleh para pejuang dari luar negeri termasuk dari Negara Islam Irak. Dan
ketika kelompok-kelompok pejuang rakyat Suriah ini akhirnya mampu membebaskan
beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan Irak maka menyatulah beberapa
kota di Irak dan di Suriah dalam kontrol Negara Islam Irak.
ISIS dianggap lebih
berbahaya ketimbang Al-Qaidah karena mempunyai
ribuan personel pasukan perang, yang siap mendeklarasikan perang terhadap
mereka yang dianggap bertentangan atau menentang berdirinya negara Islam.
Mereka menjadi kekuatan politik baru yang siap melancarkan serangan yang jauh
lebih brutal daripada Al-Qaidah. Gerakan revolusi yang mulanya mempunyai
misi mulia untuk menggulingkan rezim otoriter ini berubah menjadi tragedi. ISIS
menjadi sebuah kekuatan baru yang siap melancarkan perlawanan sengit terhadap
rezim yang berkuasa yang dianggap tidak mampu mengemban misi terbentuknya
negara Islam. Ironisnya, mereka mengabsahkan kekerasan untuk menindas kaum minoritas
dan menyerang rezim yang tidak sejalan dengan paradigma negara Islam. ISIS
menjadi kekuatan politik riil dengan ideologi yang jelas dan wilayah yang
diduduki dengan cara-cara kekerasan.
Ideologi dan Kepercayaan
ISIS mengikuti ekstrim
anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan
agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan, ISIS
(sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di
Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam.
Ideologi ISIS berasal dari
cabang Islam modern yang bertujuan untuk kembali ke masa-masa awal Islam,
menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah
"korup" dari semangat aslinya. Mengutuk kekhalifahan terakhir dan
kekaisaran Ottoman karena menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam
murni dan karenanya telah berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun,
ada beberapa komentator Sunni, Zaid
Hamid,
misalnya, dan bahkan Salafi dan mufti jihad seperti Adnan
al-Aroor dan Abu
Basir al-Tartusi,
yang mengatakan bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait tidak
mempresentasikan Sunni sama sekali, tapi menuduh Khawarij bidah yang melayani agenda kekaisaran
anti-Islam.
Salafi seperti ISIS percaya
bahwa hanya otoritas yang sah dapat melakukan kepemimpinan jihad, dan bahwa
prioritas pertama atas pertempuran di daerah lain, seperti berperang melawan
negara-negara non-Muslim, adalah sebagai pemurnian masyarakat Islam. Misalnya,
ketika memandang konflik Israel-Palestina, karena ISIS menganggap kelompok Sunni Palestina Hamas sebagai murtad yang
tidak memiliki kewenangan yang sah untuk memimpin jihad, mereka anggap melawan
Hamas sebagai langkah pertama sebelum menuju konfrontasi dengan Israel.
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas
dapat ditarik kesimpulan, bahwa banyak sedikitnya Islam juga telah mengalami
beberapa imbas dari era modernisasi yang dikatakan serba positivistic dan serba
terukur itu. Dengan berstandar acuan pada ukuran rasionalitas dan pendewasaan
akal pikiran, ragam polemik baru, justru muncul di tubuh Islam. Tentunya dengan
menilik juga dari sisi baik dan buruknya. Dapat kita ketahui secara bersama
pula bahwa isu-isu kontemporer yang bermunculan dalam Islam memiliki latar
belakang yang berbeda-beda, mulai dari wacana-wacana sosio-politis
dunia yang sedikit memaksa ke-universal-annya untuk merealisasikan eksistensi
ataupun menancapkan pengaruh serta hegemoni.
Kita tidak mungkin untuk
menolak modernisasi tapi kita bisa berpegang pada slogan Islam yaituAl
Muhafadhoh ‘ala al-qadim al-shalih wa al-ahdzubi al-jadid al-ashlah (memelihara
hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Ataupun
dalam tantangan intelektualisme (ilmiah akademis) dalam kerangka maraknya
kajian keagamaan kontemporer yang mengarah pada pemikiran yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan hanya dalam bentuk
pernyataan-pernyataan teoritik dan konseptual semata, sehingga bisa diterima
oleh pihak lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini, Adian dkk. 2002. Islam Liberal. Jakarta:
GEMA INSANI PRESS
Husaini, Adian. 2009. Virus
Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta:
Gema Insani
Ichwan,
Mohamad Nor . 2013. Prof.M. Quraish Shihab Membincang
Persoalan Gender. Semarang: RaAIL Media Group.
Nata, Abudin.
2011. STUDI ISLAM KOMPERHENSIF. Jakarta: Kencana
Rachman,
Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam untuk Liberalisme. Jakarta:
Gramedia
Syam,
Nur. 2010. Agama Pelacur. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.
Thoha,
Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta:
Gema Insani
Yanggo, Huzaimah
Tahido. 2010. Fiqih Perempuan Kontemporer. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.
[3]Budhy Munawar-Rachman, MEMBELA KEBEBASAN BERAGAMA
Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme,
dan Pluralisme, (
Jakarta: LSAF, 2010), hlm li
[9]Mohamad Nor Ichwan, Prof.M.
Quraish Shihab Membincang Persoalan Gender,(Semarang:
RaAIL Media Group, 2013), hlm 2-3
[11] Huzaimah Tahido
Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2010), hlm 91
#makalahagamaislam.
#laporanagamaislam
0 komentar:
Posting Komentar